Senin, 25 Mei 2015

Golek Dalan Padhang




                Ungkapan Jawa Golek Dalan Padhang (mencari jalan terang) memiliki makna dan implikasi mendalam dan luas dalam kehidupan individu dan sosial, serta dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Nasihat itu dapat berfungsi ganda namun tetap dalam satu kerangka, yakni agar seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak semestinya, yaitu perbuatan yang menyimpang dari norma hukum, etika, moral, dan sebagainya. Orang yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat pastilah disebut sebagai orang yang melakukan perbuatan jahat atau buruk.
                Dalam konteks budaya Jawa, kata Padhang (terang) identik dengan kebenaran, kebaikan, atau hal yang pantas dan layak menjadi contoh dan kiblat bagi setiap orang. Konsep Padhang (terang) dilawankan dengan konsep peteng (gelap), yakni lambang kondisi dan perbuatan buruk, jahat, maksiat, bertentangan dengan nilai-nilai, dan sebagainya, yang seharusnya dihindari oleh setiap orang. Dalam konteks ini, seseorang perlu selalu berorientasi pada laku padhang (perbutan baik) dan menghindari diri dari laku peteng (perbutan buruk), agar dirinya dapat mencapai derajat wong utama (manusia utama), dan tidak disebut wong nistha (manusia buruk atau manusia hina).
                Konsep Padhang sejajar dengan konsep laku tengen ( perbuatan baik), dan berlawanan dengan konsep laku ngiwa (perbuatan buruk). Dalam budaya Jawa, tengen (kanan) menjadi simbol kebaikan, sedangkan kiwa (kiri) menjadi simbol perbuatan buruk atau kejahatan. Oleh sebab itu, kita sering diingatkan dengan pernyataan orang tua agar aja ngiwa, artinya jangan melakukan tinda penyelewengan, baik dalam kaitannya dengan keuangan, hukum, maupun moral. Orang yang melakukan tindakan ngiwa (berbuat jahat atau berbuat buruk) dinilai sebagai orang yang salah atau menyimpang dari nilai-nilai kebenaran.
                Kembali pada fungsi dari ungkapan yang memuat nasihat tersebut, golek dalan padhang (mencari jalan terang) dapat dimanfaatkan dalam dua segmen yang temporal. Pertama, ungkapan itu merupakan kendali seseorang sebelum dirinya melakukan tindakan kejahatan atau melakukan penyimpangan. Dengan diingatkan melalui ungkapan golek dalan padhang (mencari jalan terang) yang jika diimperatifkan menjadi goleka dalan padhang (carilah jalan terang), diharapkan seseorang dapat mengurungkan niat untuk melakukan perbuatan menyimpang atau melakukan kesalahan.
                Kedua, dalam kondisi seseorang telah terlanjur melakukan kesalahan atau penyimpangan, ungkapan ini dapat berfungsi sebagai penyadaran sehingga orang tersebut segera menghentikan perbuatan buruknya dan kembali ke jalan kebenaran, dalan padhang (jalan terang). Artinya, orang yang telah melakukan perbuatan peteng (gelap) atau berlaku peteng (salah) akan kembali kepada dalan padhang (jalan terang), dan bagi yang berbuat ngiwa segera kembali kepada perbuatan tengen.


Minggu, 10 Mei 2015

Aja metani alaning liyan



                Ungkapan aja metani alaning liyan berisi nasehat yang berorientasi pada upaya menciptakan kehidupan sosial yang harmonis. Pendek kata, nasihat ini dimaksudkan agar terjadi situasi hidup bermasyarakat yang saling percaya, saling menghormati, saling menghargai demi terciptanya lingkungan sosial kemasyarakatan yang harmonis. Kata metani dalam ungkapan tersebut terbentuk dari kata dasar petan, yang berarti cari kutu rambut. Petan berubah menjadi metani sebagai bentuk aktif, yang berarti mencari kutu rambut. Kata alaning (jeleknya) terbentuk dari kata ala (jelek) dan mendapat akhiran –ning. Kata liyan (lain, pihak lain) berasal dari kata dasar liya yang mendapat akhiran –an, sehingga berarti lain atau orang lain. Kutu rambut adalah hewan yang sangat kecil, yang tentunya sulit untuk di tangkap. Mencari kutu rambut member gambaran mencari sesuatu yang kecil di tengah-tengah belantara rambut. Akan tetapi, pekerjaan yang sulit itu tetap dilakukan karena tujuan akhirnya memang untuk menangkap kutu rambut tersebut.

                Ungkapan tersebut merupakan nasehat orang jawa melalui analogi (perumpamaan). Kata metani dalam konteks ini memiliki arti “mencari-cari”, mencari sesuatu yang seharusnya tidak perlu di cari atau mencari sesuatu yang sulit di cari. Kutu rambut melambangkan kesalahan orang lain. Oleh sebab itu, perumpamaan aja metani alaning liyan berarti jangan mencari-cari kesalahan orang lain.

                Orang yang mencari-cari kesalahan orang lain dapat memiliki berbagai tujuan. Misalnya untuk menyebarkan fitnah agar orang yang di fitnah menjadi buruk namanya, sebagai bentuk pelampiasan rasa tidak percaya diri karena kalah dalam persaingan hidup, dan sebagainya. Jadi, upaya mencari-cari kesalahan itu di dasarkan pada rasa iri hati atas keberhasilan dan kebaikan orang lain. Meksud lainnya adalah untuk menutupi kelemahan diri sendiri dengan cara menjelek-jelekan orang lain. Harapannya agar nama baik dirinya dapat terangkat.


Ahmad Ariefuddin

Lembah Manah lan Andhap Asor




                Ungkapan ini terkat sikap hidup orang jawa dalam menjaga hubungan sosial dengan orang lain. Untaian kata tersebut terdiri atas kata lembah (rendah), manah (hati- bentuk krama dari kata ati [hati]), lan (dan), andhap (rendah- bentuk krama dari kata sendhek [rendah]), dan asor (hina, rendah [bawah]). Sebagai untaian kata yang sudah maton (tetap, ajeg), ungkapan itu tidak lazim di uabh menjadi bentuk ngoko sehingga menjadi lembah ati atau endhek ati, karena tidak pas dan tidak mengungkapkan makna yang semestinya. Ungkapan itu harus tetap di ucapkan lembah manah atau andhap asor (rendah hati).
                Sebenarnya, lembah manah dan andhap asor itu sama maknanya, yakni rendah hati. Keduannya di hadirkan bersama-sama sebagai bentuk pernyataan atas pentingnya sikap rendah hati. Pemakaian dua kata atau kelompok kata yang sama maknanya semacam itu lazim di lakukan oleh masyarakat jawa, seperti adanya pemakaian widada basuki, japa mantra, lara papa, rila legawa, lulus raharja, dan sebagainya.
                Sikap hidup andhap asor atau lembah manah (rendah hati) menjadi aspek penting dalam budaya jawa. Hal itu dibuktikan dengan adanya beberapa ungkapan yang intinya menasehatkan agar siapapun memiliki watak rendah hati, tidak congkak (tinggi hati), seperti ungkapan aja adigang adigung adiguna (jangan menyombongkan kedudukan, kekuatan, kepandaian), ngerti empan papan (mengerti situasi dan kondisi), aja seneng lamun ginunggung ( jangan senang jika disanjung), ora serik lamun diina (jangan marah jika dihina), ngalah ora ateghes kalah (mengalah tidak berarti kalah), dan sebagainya.
                Pentingnya sikap rendah hati juga terkait dengan ajaran budaya jawa yang mengakui bahwa segala yang kita miliki adalah titipan Gusti Allah (Tuhan), termasuk harta dan nyawa. Masyarakat jawa menyakini bahwa semua yang dimiliki oleh seseorang hanyalah titipan sehingga hanya sementara bersamanya. Keyakinan itu tercermin dalam ungkapan bandha titipan, nyawa gandulan (harta sebagai titipan dan nyawa sebagai pinjaman). Dalam pandangan jawa, harta yang dimiliki, kedudukan yang di emban, nyawa dalam tubuh bukanlah hak milik sepenuhnya, tetapi sebagai titipan atau gandhulan. Sebagai layaknya titipan, seseorang harus rila (iklhas) jika sewaktu-waktu semua itu di ambil oleh yang memilikinya, yakni Tuhan.


Ahmad Ariefuddin

Eling Sangkan Paraning Dumadi




                Ungkapan arif eling sungkan paraning dumadi (ingat asal dan tujuan hidup) sangat populer dalam kehidupan masyarakat jawa, khususnya dalam pergaulan orang-orang tua. Akan tetapi, derasnya arus moderanisasi bisa jadi menyebabkan generasi muda tidak lagi memahami ungkapan yang sangat dalam maknanya tersebut. Ungkapan jawa ini mengandung nasihat agar seseorang selalu waspada, hati-hati, serta eling (ingat) terhedap sangkan (asal)  manusia dan paran (tujuan akhir) dari perjalanan manusia. Jika setiap orang telah menetapkan dirinya untuk selalu bersikap eling (ingat) dan waspadha (waspada) terhadap perjalanan hidupnya, maka ia nantinya mampu meredam emosi dan nafsu-nafsu amarah di dalam dirinya, serta berupaya untuk selalu bertindak dalam koridor perilaku yang bersifat mutmainah. Ini karena ia memiliki tujuan akhir yang jelas, yakni ingin sowan ngarsaning gusti ( menghadap kehadirat Tuhan) dengan cara yang baik.
                Eling sangkan paraning dumadi bermakna “ingat akan asal dan tujuan hidup”. Nasihat eling sangkan paraning dumadi memiliki makna ajaran bahwa seseorang hendaknya selalu ingat pada asal mula dan akhir dari perjalanan hidupnya. Berbagai filsafah hidup dalam budaya jawa –yakni yang mendasarkan pada keyakinan urip ana sing nguripake (hidup ada yang menghidupkan), urip  mung mampir ngombe (hidup hanya ibarat numpang minum) yang bermakna hidup di dunia hanya sementara, dan sebagainya- menunjukan betapa kuat keyakinan orang jawa terhadap kekuasaan Tuhan dan adanya kehidupan lain setelah di dunia, yakni kehidupan akhirat. Akhir dari kehidupan itu sendiri adalah bertemunya manusia dengan Tuhan yang maha kuasa. Oleh karena itu, orang jawa menyadari dan mengakui bahwa manusia berasal dari Tuhan dan kelak tujuan akhir dari hidupnya adalah kembali ke hadapan Tuhan. Jika pemahaman itu melekat pada diri seseorang, maka ia akan berusaha menyiapkan diri sebaik mungkin untuk bertemu Tuhan, seraya berharap kembalinya dirinya ke hadirat Tuhan dapat “diterima” dan memperoleh kebahagiaan di akhirat.



Ahmad Ariefuddin
               

Minggu, 03 Mei 2015

Berbudi Bawa Leksana




                Ungkapan berbudi bawa leksana sering diucapkan dalam kaitannya dengan sosok seorang pemimpin atau kewajiban dari orang yang diberi amanah untuk memimpin. Berbudi artinya (berwatak, berbudi, atau berperilaku), Bawa berarti (ucapan atau perkataan), dan laksana (laku atau laksana). Dengan demikian, ungkapan berbudi bawa leksana adalah gambaran watak seorang yang konsekuen dalam ucapan dan tindakannya. Seorang pemimpin dikatakan memiliki watak berbudi bawa leksana jika setiap ucapanya dilaksanakan dengan penuh konsekuen dan tanggung jawab.
                Orang yang berperilaku berbudi bawa leksana cenderung cermat dan berhati-hati sebelum menyampakan ucapan atau memutuskan suatu masalah yang menuntut dirinya untuk bertanggung jawab atas hal-hal yang diputuskannya. Dalam kaitan ini, sikap berbudi bawa leksana cocok dan dapat dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang mampu bersikap berbudi bawa leksana akan memberi ketenteraman dan kepuasan kepada rakyatnya.


Ahmad Ariefuddin

Becik Ketitik Ala Ketara




                Arti kata per kata dari ungkapan ini adalah: becik (kebaikan), ketitik (ketahuan), ala (kejelekan), dan ketara (terlihat atau tampak). Ungkapan becik ketitik ala ketara (kebaikan akan ketahuan, keburukan akan tampak) sangat populer dalam kehidupan masyarakat jawa. Kepopuleran ini membuktikan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya di anut dan berjalan secara fungsional, serta memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat jawa. Ungkapan ini lazim di pakai sebagai peredam konflik sosial, apa pun sumber kasusnya.
                Dalam suatu kasus atau konflik, tidak selamanya dapat di ungkapkan bukti-bukti yang dapat mendukung diperolehnya kebenaran. Bahkan ada kalanya seseorang yang terlibat dalam konflik tida bersedia menyatakan hal yang sebenarnya, hal yang seseuai dengan kenyataan. Seseorang sebenarnya lebih baik menyelesaikan konflik tanpa harus memperpanjang permasalahan. Namun, dalam konteks penyelesaian konflik, sangat mungkin ada pihak yang kecewa atas sikap pihak lain. Bahkan, masing-masing pihak seringkali bersikukuh pada pendiriannya dan saling mengaku bahwa pihaknya yang benar dan pihak lain yang salah. Di dalam kondisi rebut bener (berebut kebenaran) antara dua pihak tersebut, orang jawa menerimanya dengan keyakinan becik ketitik ala ketara. Umumnya, pihak yang berani mengucapkan becik ketitik ala ketara adalah pihak yang meyakini bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan. Dengan demikian, becik ketitik ala ketara (kebaikan akan diketahui, keburukan akan tampak) sebagai alternatif penyelesaian konflik jika penyelesaian normatif menemui jalan buntu (mentok).
                Pertanyaan yang muncul adalah apa yang melatari sikap orang jawa dalam meyakini kebenaran becik ketitik ala ketara?. Budaya jawa tidak dapat dilepaskan dari sikap hidup orang jawa, baik sikap hidup yang berkaitan dengan kehidupan sosial (hubungan dengan orang lain) maupun sikap hidup yang berkaitan dengan nilai religius atau ajaran ketuhanan. Pertama, seperti dinyatakan di atas, seorang akan bersikap “menerima” pemecahan konflik tanpa bermaksud memperpanjang persoalan, utamanya jika konflik itu melibatkan orang-orang yang sebelumnya memiliki hubungan bak. Akan tetapi, “penerimaan” itu sebenarnya bersifat tentatif (sementara) karena dirinya tetap menghendaki agar kebenaran atau kesalahan itu akan terungkap (walaupun tanpa melalui proses hukum normatif).
                Kedua, penerimaan dengan meyakini becik ketitik ala ketara tidak terpisah dari pandangan hidup orang jawa yang sangat kental dengan nilai religius. Orang jawa meyakini bahwa Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur), dan karenanya Tuhan melihat segala pikiran dan tindakan semua orang. Orang jawa sangat yakin bahwa Tuhan akan memberi keadilan yang seadil-adilnya terhadap kesalahan umat-Nya.
                Dengan demikian, penerimaan fase pertama ini dikatakan masih bersifat sementara. Mengapa? Ini lantaran orang jawa masih mengharapkan bahwa kesalahan dan kebaikan itu nantinya terbuktikan, dan Tuhan-lah yang akan memberi bukti-bukti itu walaupun tidak harus melalui proses hukum normatif. Lalu apa bentuk konkrit dari bukti-bukti tersebut? Biasanya masyarakat jawa meyakini bahwa Tuhan akan membalas kesalahan seseorang, misalnya menimpakan penderitaan atau kejadian menyedihkan pada sang pelaku atau keluarganya, seperti sakit berkepanjangan, kehilangan harta benda, kegelisahan, kehilangan kehormatan, dipermalukan secara umum, dicabut derajat atau amanah yang diberikan kepadanya, dan sebagainya. Bentuk-bentuk penderitaan itu di pandang sebagai bukti bahwa si pelaku adalah pihak yang salah. Seseorang yang terlibat konflik akan di pandang sebagai pihak yang benar jika setelah perselisihan ia tidak mengalami nasib buruk, atau tertimpa musibah.
                Satu hal yang perlu dicermati adalah perlunya kesadaran bahwa suatu keburukan, bagaimanapun dan apapun jenisnya, tidak bisa disembunyikan. Jika semasa hidupnya hal itu bisa disembunyikan, nantinya hal itu tetap akan terungkap setelah orang tersebut di akhirat, bahkan pada hari pengadilan di hadapan Tuhan. Dengan demikian, yang terpenting adalah menjadikan ungkapan becik ketitik ala ketara sebagai kendali moral bagi siapapun agar dirinya terhidar dari perilaku jahat atau keburukan: jangan sampai seseorang memiliki niat dan perbuatan ala (buruk). Mengapa? Karena keburukan itu akan kembali pada dirinya sendiri (dan keluarganya), baik ketika masih hidup di dunia ataupun nanti di akhirat. Jadi, sebaik-baik sikap adalah menempatkan ungkapan becik ketitik ala ketara sebagai ajaran untuk mengendalikan hati, pikiran, dan tindakan agar diri kita jauh dari laku ala (tindakan buruk), dan bukan menempatkannya sebagai bentuk pernyataan vonis atas kesalahan orang lain.

Ahmad Ariefuddin