Ungkapan
ini terkat sikap hidup orang jawa dalam menjaga hubungan sosial dengan orang
lain. Untaian kata tersebut terdiri atas kata lembah (rendah), manah (hati-
bentuk krama dari kata ati [hati]), lan (dan), andhap (rendah- bentuk krama
dari kata sendhek [rendah]), dan asor (hina, rendah [bawah]). Sebagai untaian
kata yang sudah maton (tetap, ajeg), ungkapan itu tidak lazim di uabh menjadi
bentuk ngoko sehingga menjadi lembah ati atau endhek ati, karena tidak pas dan
tidak mengungkapkan makna yang semestinya. Ungkapan itu harus tetap di ucapkan
lembah manah atau andhap asor (rendah hati).
Sebenarnya,
lembah manah dan andhap asor itu sama maknanya, yakni rendah hati. Keduannya di
hadirkan bersama-sama sebagai bentuk pernyataan atas pentingnya sikap rendah
hati. Pemakaian dua kata atau kelompok kata yang sama maknanya semacam itu
lazim di lakukan oleh masyarakat jawa, seperti adanya pemakaian widada basuki,
japa mantra, lara papa, rila legawa, lulus raharja, dan sebagainya.
Sikap hidup
andhap asor atau lembah manah (rendah hati) menjadi aspek penting dalam budaya
jawa. Hal itu dibuktikan dengan adanya beberapa ungkapan yang intinya
menasehatkan agar siapapun memiliki watak rendah hati, tidak congkak (tinggi
hati), seperti ungkapan aja adigang adigung adiguna (jangan menyombongkan
kedudukan, kekuatan, kepandaian), ngerti empan papan (mengerti situasi dan
kondisi), aja seneng lamun ginunggung ( jangan senang jika disanjung), ora
serik lamun diina (jangan marah jika dihina), ngalah ora ateghes kalah
(mengalah tidak berarti kalah), dan sebagainya.
Pentingnya
sikap rendah hati juga terkait dengan ajaran budaya jawa yang mengakui bahwa
segala yang kita miliki adalah titipan Gusti Allah (Tuhan), termasuk harta dan
nyawa. Masyarakat jawa menyakini bahwa semua yang dimiliki oleh seseorang
hanyalah titipan sehingga hanya sementara bersamanya. Keyakinan itu tercermin
dalam ungkapan bandha titipan, nyawa gandulan (harta sebagai titipan dan nyawa
sebagai pinjaman). Dalam pandangan jawa, harta yang dimiliki, kedudukan yang di
emban, nyawa dalam tubuh bukanlah hak milik sepenuhnya, tetapi sebagai titipan
atau gandhulan. Sebagai layaknya titipan, seseorang harus rila (iklhas) jika sewaktu-waktu
semua itu di ambil oleh yang memilikinya, yakni Tuhan.
Ahmad Ariefuddin
Ahmad Ariefuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar