Jumat, 01 Mei 2015

Wani ngalah luhur wekasane





                Orang jawa memang memiliki sikap tenggang rasa yang sangat tinggi. Dalam berbagai urusan dengan orang lain, orang jawa selalu berupaya tidak menonjolkan pamrih pribadi. Orang jawa selalu mementingkan kepentingan bersama dan menjunjung tinggi kebersamaan, serta menghargai orang lain. Dalam kaitan ini, orang jawa rela mengorbankan pamrih pribadi. Ada satu ungkapan untuk semua itu, yakni ora melik-an, yang artinya tidak bernafsu untuk memiliki sesuatu (harta,jabatan, kekayaan, dan sebagainya) dengan cara mengalahkan atau mengorbankan orang lain. Dalam konteks ini, orang jawa selalu diingatkan melalui nasehat wani ngealah luhur wekasane. Ungkapan ini terbentuk dari kata-kata: wani (berani), ngalah (mengalah), hurur (tinggi), dan wekasane (pada akhirnya atau kelak), sehingga arti keseluruhannya adalah berani mengalah tinggi pada akhirnya.
                Ungkapan ini masih sering dijadikan pegangan hidup masyarakat jawa dalam berbagai persoalan. Umumnya, di samping muncul dari kesadaran pribadi, nasihat wani ngalah luhur wekasane juga disampaikan oleh orang-orang tua untuk meredam emosi anak-anaknya, tetangganya, rekan-rekannya, atau bahkan lawan-lawan politiknya. Ungkapan itu sangat erat dengan kepercayaan orang jawa terhadap hidup setelah kehidupan di dunia, atau kehidupan akhirat. Oleh sebab itu, pengertian wekasane (akhirnya) tidak hanya di pahami “kelak” (untuk waktu peristiwa itu di dunia), melainkan juga “kelak” untuk waktu setelah kehidupan dunia itu sendiri.
                Masyarakat jawa menilai bahwa sikap dan perilaku ngalah (mengalah) benar-benar bukan berarti kalah. Oleh sebab itu, perilaku ngalah (mengalah) tidak dinilai sebagai pihak yang bersalah atau negatif. Sebaliknya, seseorang yang berani bersikap dan berperilaku ngalah (mengalah) dinilai positif karena mampu menekan pamrih pribadi. Ia dinilai telah mampu mengendalikan nafsunya sehingga dapat mengesampingkan keinginan dirinya. Sementara itu, orang yang selalu ngotot dalam berpendapat, atau dalam mencapai suatu tujuan tanpa memperhatikan situasi dan kondisi, justru dinilai sebagai sosok yang tidak atau belum dewasa. Dengan demikian, sikap ngalah (mengalah) untuk mencapai tujuan akhir yang lebih baik dipandang sebagai seorang yang njawani (bersikap atau bergaya hidup jawa)
                Orang yang mampu berperilaku ngalah (mengalah) termasuk orang yang mampu menjaga keharmonisan hidup sosial. Ia akan dikenal sebagai orang yang mampu menahan amarah. Misalnya, dalam kondisi tawar-menawar (baik dalam pendapat, pengambilan keputusan dan sebagainya), sering terjadi kebuntuan karena masing-masing pihak bersikeras mendesakkan pendapatnya. Jika tidak segera berfikir jernih, para peserta (rapat keluarga, kampung, antar kampung, antar pegawai, antar karyawan, rapat antar instansi, dan sebagainya) akan terlibat komflik yang dapat mengakibatkan perpecahan. Setidaknya, sikap saling ngotot dan keras kepala akan menjadikan antar individu saling tersinggung. Dan, jika satu sama lain telah tersinggung, dikecewakan, dan merasa tidak dihargai, pasti komunikasi antar mereka tidak dapat berlangsung secara harmonis dan fair. Dalam kondisi saling bersitegang, dituntut adanya pihak-pihak yang harus melepaskan tujuannya, melepaskan keinginan untuk menggolkan pendapatnya, walaupun ia mengetahui bahwa pendapat dan gagasannya bak dan benar. Orang yang bersikap ngalah (mengalah) adalah orang yang menyadari bahwa kedewasaan dukur dari kemampuan seseorang untuk melepas keinginannya demi memberikan kesempatan bag orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar